Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
ANDA BUTUH SEPATU STANDAR TNI 150 RIBU/NEGO,BERBAGAI MACAM KAOS/TRAINING SUIT,BERMACAM TAS OUTDOOR MURAH KUAT Call me 0812-9441501/militerinfo@gmail.com
SELAMAT DATANG TEMAN TEMAN DI " INFO MILITER "SILAHKAN ISI BUKU TAMU ,TENG KYU

WELCOME 2 INFO MILITER

SELAMAT DATANG PARA BLOGER ATAWA YANG SEMPET MAMPIR ATO KESASAR,MAKASIH BANYAK ATAS NYA...JANGAN LUPA ISI BUKU TAMU FREN...THK

MENURUT ANDA,TNI (Tamtama & Bintara)SUDAH SEJAHTERA DARI PANDANGAN SEBUAH NEGARA ?

Selasa, 14 Desember 2010

PENEMBAK JITU & SNIPER

militerinfo


PENEMBAK JITU ?/ SNIPER ?
Penembak jitu adalah istilah yang dipakai pada bidang militer. Seorang penembak jitu terlatih untuk menembak secara tepat dan akurat dengan menggunakan senapan tipe tertentu. Beberapa doktrin militer memakai penembak jitu yang tergabung dalam infanteri tingkat regu.Penembak jitu modern sering disamakan dengan penembak runduk (sniper), padahal, keduanya sebenarnya berbeda.
Sejarah
Salah satu awal munculnya penembak jitu adalah dalam Revolusi Amerika. Kompi senapan Amerika, yang dipersenjatai Pennsylvania/Kentucky Long Rifle, menjadi prajurit dalam Tentara Kontinental. Karena keakuratan prajurit-prajurit ini, banyak perwira Inggris yang harus mencopot lambang perwira mereka, agar tidak dijadikan target.Pemakaian awal penembak jitu lainnya adalah pada Angkatan Darat Inggris di era Napoleon. Ketika itu, tentara lain lebih banyak menggunakan musket yang tidak akurat, tapi Green Jackets Inggris menggunakan senapan Baker yang terkenal. Dengan alur khusus didalam larasnya, senapan ini jauh lebih akurat, walau pengisiannya lebih lama. Para pemakai senapan ini termasuk tentara elit Inggris, dan menjadi garis depan yang diandalkan pada banyak pertempuran.Penembak jitu juga dipakai pada Perang Saudara Amerika. Penembak jitu ini digunakan oleh kedua pihak yuang berperang. Prajurit elit ini terlatih dan dipersenjatai dengan baik, dan juga ditempatkan di garis depan sebagai yang pertama melawan musuh.
Perbedaan penembak runduk dengan penembak jitu
Beberapa doktrin membedakan antara penembak runduk (sniper) dengan penembak jitu (marksman, sharpshooter, atau designated marksman). Sniper terlatih sebagai ahli stealth dan kamuflase, sedangkan penembak jitu tidak. Sniper merupakan bagian terpisah dari regu infanteri, yang juga berfungsi sebagai pengintai dan memberikan informasi lapangan yang sangat berharga, sniper juga memiliki efek psikologis terhadap musuh. Sedangkan penembak jitu tidak memakai kamuflase, dan perannya adalah untuk memperpanjang jarak jangkauan pada tingkat regu.Penembak jitu umumnya memiliki jangkauan sampai 800 meter, sedangkan sniper bisa sampai 1500 meter atau lebih. Ini dikarenakan sniper pada umumnya menggunakan senapan runduk bolt-action khusus, sedangkan penembak jitu menggunakan senapan semi-otomatis, yang biasanya berupa senapan tempur atau senapan serbu yang dimodifikasi dan ditambah teleskop.
Sniper telah mendapatkan pelatihan khusus untuk menguasai teknik bersembunyi, pemakaian kamuflase, keahlian pengintaian dan pengamatan, serta kemampuan infiltrasi garis depan. Ini membuat sniper memiliki peran strategis yang tidak dimiliki penembak jitu. Penembak jitu dipasang pada tingkat regu, sedangkan sniper pada tingkat batalyon dan tingkat kompi.
Persenjataan
Karena penembak jitu modern tingkat regu (designated marksman) mengisi jeda antara infanteri biasa dengan penembak runduk, senapan penembak jitu juga dirancang sebagai penengah. Senapan penembak jitu harus memiliki jangkauan yang lebih jauh dari senapan serbu (sekitar 500 meter), tapi tidak perlu sampai jangkauan tingkat senapan runduk (lebih dari 1000 meter).
Karakteristik
Sifat-sifat yang sama dengan senapan runduk:
* Bidikan teleskopik
* Peluru yang lebih besar
Sifat-sifat yang sama dengan senapan serbu:
* Kemampuan menembak semi-otomatis
* Kapasitas magasine besar, 10 sampai 30 butir peluru
Adaptasi senapan tempur
Senapan tempur disini adalah senapan semi-otomatis dengan kaliber 7.62 x 51 mm seperti M14, FN FAL, dan HK G3, yang dulu dipensiunkan dan digantikan senapan dengan kaliber lebih kecil 5.56 x 45 mm NATO seperti senapan serbu M16. Senapan tempur ini lebih cocok dirubah menjadi senapan penembak jitu mutlak karena pelurunya yang lebih kuat.
Contoh:
* M21: diadaptasikan dari M14.
* U.S. Marine Corps Designated Marksman Rifle: diadaptasikan dari M14.
* G3SG/1: varian dari HK G3.
adaptasi senapan serbuMemodifikasi senapan serbu adalah pilihan yang paling mudah dan murah, karena senapan serbu hanya perlu ditambahkan alat bidik teleskop dan tetap menggunakan kaliber yang sama.
Solusi yang lebih efektif adalah mengganti kaliber peluru dengan kaliber lebih besar, dan mengganti laras khusus yang lebih berat.
Contoh senapan penembak jitu yang menggunakan kaliber original:
* US Army Squad Designated Marksman Rifle (SDM-R): adaptasi dari M16.
* U.S.M.C. Squad Advanced Marksman Rifle (SAM-R): adaptasi dari M16.
* M16A2E3: varian dari M16.
* US Navy Mark 12 Mod X Special Purpose Rifle: M16 yang dimodifikasi.
Contoh senapan penembak jitu yang menggunakan kaliber baru:
* Galil Galatz: varian 7.62 x 51 mm dari IMI Galil.
* SR-25: berdasarkan Stoner AR-1
By Dragon’s blog

MILITER DALAM SUPRASTRUKTUR IDEOLOGI

militerinfo

Militer Dalam Suprastruktur Ideologi
Willy Aditya
         Negara Kesatuan Republik Indonesia harga mati dan Pancasila sakti. Dua jargon tersebut mempresentasikan struktur dominan relasi ideologis dalam perjalanan kebangsaan Indonesia. Keampuhan jargon tersebut telah mematahkan sekian banyak rencana pemisahan daerah dari kesatuan republik, aksi-aksi massa dengan stempel subversif, sampai pertentangan politik yang membahayakan kekuasaan. Kaum strukturalis meletakkan militer dalam ranah yang disebut sebagai suprastruktur ideologi (bangunan atas struktur masyarakat). Pandang tersebut berangkat dari tinjauan determinisme ekonomi. Sementara basis struktur (infrastruktur: kekuatan produksi, alat produksi, dan hubungan produksi) merupakan fondasi bagi suprastruktur yang terdiri dari dua gugus, yaitu nilai dan pelembagaan dari nilai. Intelektual menjalankan fungsi hegemoni dengan mereproduksi nilai-nilai yang melanggengkan kekuasaan dengan segala mantra ilmu pengetahuan. Sementara militer secara institusional melanjutkan dalam dominasi kehidupan keseharian dan menjaga kekuasaan untuk tetap survive.
Pertanyaan mendasar yang selalu hadir, apakah determinisme ekonomi masih berlaku mutlak dalam realitas kekinian? Determinisme ekonomi dengan kasatmata dapat terpotret dalam gambaran Fredric Jameson tentang globalisasi sebagai "the becoming of cultural of economic and the becoming economic of cultural". Globalisasi atau neoliberalisme digambarkan sebagai paket ideologi yang bermuataan nilai-nilai politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Globalisasi bukanlah makhluk dan organisme baru, melainkan komodifikasi dari ekspansi modal yang utuh, dalam termilogi lampau dimaknai sebagai neokolonialisme dan imperialisme.
          Joseph S Nye Jr juga memaparkan dua jenis kekuasaan dalam globalisasi diimpamakan seperti carrot and stick atau dalam bahasa politiknya hard power dan soft power. "Jika kau nakal dan membangkang, maka akan kugunakan tongkatku untuk memukulmu, tapi jika kau seorang kelinci yang manis dan penurut, maka kugunakan wortel untuk membuatmu tetap berada dalam lingkaran kekuasaanku!"
Begitulah pendekatan kelas dominan dan negara superpower dalam penyelesaian konflik dunia yang terjadi seperti Afghanistan, Irak, dan Darfur. Kelas dominan menegakkan hegemoninya melalui demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara untuk mendaratkan hegemoni menjadi dominasi, kekuasaan melancarkan perang melalui instritusi militer sebagai wujud penguasaan teritori dan perebutan sumber daya alam.
Amy Goodman dalam Perang Demi Uang menggambarkan suprastruktur dalam negara liberal didominasi oleh OLIgarki. Sekelompok orang dari industri minyak yang mengambil alih kepemimpinan politik suatu negara. Lalu mereka membajak militer dan menduduki sebagian besar kawasan penghasil minyak dunia. Mereka memperkaya diri sebanyak-banyaknya dan memastikan keberlanjutan kendali atas minyak dunia. Demi bertahan hidup, biasanya anggota OLIgarki perlu mengakhiri kebebasan sipil, menggambarkan penambahan kekayaan sebagai tugas patriotik, dan mengandalkan kerja sama pers yang bersikap seperti budak.¹
Lebih lanjut Amy Goodman memberikan list para pemeran OLIgarki dalam kekuasaan Amerika Serikat sebagai berikut. George Bush, presiden (pengusaha minyak yang gagal); Dick Cheney, wakil presiden (mantan CEO Halliburton, perusahaan jasa minyak terbesar di dunia); Condoleezza Rice, penasihat keamanan nasional (mantan anggota direksi Chevron selama satu dasawarsa dan ada tanker minyak yang dinamai sesuai namanya); Spencer Abraham, menteri energi (mantan penerima sumbangan kampanye terbesar dari industri otomotif sebagai senator selama satu periode); Don Evans, menteri perdagangan (mantan CEO dan direktur Tom Brown Inc, perusahaan minyak dan gas senilai miliaran dolar); Gale Norton, menteri sumber daya (mantan pengacara untuk Delta Petrolium); dan Andrew Card, kepala staf (mantan kepala pelobi General Motors). Jika kelas dominan menempatkan militer sebagai alat penjaga sekaligus pemukul modal. Posisi ini jauh berbeda dari tradisi revolusioner yang merepresentasikan perlawanan dalam menggulingkan kelas dominan. Praktik ini dilakukan oleh Mao Tse Tung dalam revolusi Tiongkok yang secara tegas mengatakan "kekuasaan senjata harus tunduk di bawah komando partai!".
Dalam rangka revolusi, seseorang mutlak harus memobilisasi massa untuk melakukan perjuangan politik dalam segala bentuk, dengan demikian mendidik, membesarkan hati dan mengorganisir mereka; mengembangkan partai dan organisasi politik massa (untuk membangun 'tentara politis massa'. Hanya pada beberapa hal, saat kondisi bervariasi, seseorang harus membangun kekuatan bersenjata rakyat revolusioner dan memicu sebuah perjuangan bersenjata. Organisasi politis massa membentuk basis kekuatan tentara rakyat.²
          Kedua persektif liberal ataupun revolusioner bersepakat bahwa militer semata-mata hanya alat kekuasaan yang keberadaannya mutlak berada di bawah otoritas yang lebih tinggi, yaitu politik. Pandangan liberalisme meletakkan supremasi sipil di atas militer dalam kerangka pertahanan nasional di mana kedudukan institusi militer merupakan subordinasi dari otoritas pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui kontestasi elektoral (civilian supremacy upon the military). Konsep supremasi sipil atas militer melekat dalam pengertian demokrasi di mana militer sebagai aktor yang memonopoli kekerasan secara formal dan legal.Lima puluh tahun lebih Indonesia merdeka sebagai pencapaian suatu negara dalam mengusir kolonialisme. Sepanjang kurun waktu itulah Indonesia sudah berulang kali berganti sistem kepolitikan dan pemerintahan. Sebagai suatu negara merdeka warisan kolonial Belanda, proyek bersama³ menjadi suatu bangsa selalu pasang-surut. Setelah terinterupsinya program Bung Karno melalui nation and chacter building sampai sekarang Indonesia sebagai nation belumlah klimaks. Sistem kepolitikan Indonesia pada masa setelah kemerdekaan begitu dinamis dan maju dalam pemisahan respulika (polis) dan resprivata (oicos) dalam tatanan bernegara.4 Indonesia sekarang dalam gugus pengetahuan dan ruang praktik kepolitikan sangat kerdil dan cendrung degradatif.
         Militer dalam sejarah kenegaraan Indonesia menjadi prominent hampir setiap agenda-agenda perubahaan politik. Posisi ini tak terlepas dari segi kesejarahan dalam militer Indonesia yang dipandang sebagai warrior (tentara penakluk). Dalam doktrin TNI kemudian dibahasakan sebagai tentara pejuang dan tentara rakyat yang manunggal bersama rakyat. Doktrin sistem pertahanan semesta (total war) dijadikan sebagai legitimasi militer untuk jauh menancapkan kuku tidak hanya dalam ranah politik, tetapi juga dalam sosial dan budaya masyarakat. Intervensi militer dalam politik lebih menonjolkan alasan kesejarahan perjuangan bangsa dan negara yang berpandangan militer di negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia, berbeda dari negara-negara lain.
Setelah gerakan reformasi 1998 menggelora sebagai skema demokratisasi, keberadaan militer sebagai pendukung utama Orde Baru (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) menjadi santer dibahas. Agenda yang sering didengung-dengungkan oleh gerakan prodemokrasi adalah "back to barrac!". Demokrasi dijalankan untuk menghilangkan keterlibatan secara langsung militer dalam panggung politik baik legislatif maupun eksekutif. Selanjutnya menggerus bisnis-bisnis yang dioperasionalkan institusi militer setelah kemerdekaan. Agenda-agenda yang disebut sebagai security sector reform berjalan di bawah negosiasi-negosiasi kepentingan antara kekuasaan lama dan kekuasaan baru. Di sisi lain kalangan civil society sebagai kekuatan presure masih belum efektif dan terdapat kebolongan-kebolongan secara epistemologi dan aksiologi tentang politik dan militer itu sendiri.
         Jauh sebelum demokrasi dipopulerkan di Yunani, politia atau politik sudah meletakkan role of engagement secara tegas tentang otoritas kekuasaan dalam masyarakat. 'Politik' berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai makna berkaitan dengan keteraturan, keindahan, dan kesopanan bagi warga kota. Aristoteles memaknai politik sebagai seni tertinggi untuk mewujudkan kebaikan bersama (common and highest good). Sementara negara ditempatkan sebagai lembaga yang kedudukannya berada di atas rakyatnya. Negara memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi rakyatnya. Aristoteles menempatkan kekuasaan yang besar pada negara merujuk pada individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Lebih lanjut Aritoteles menguraikan bahwa individu memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat dalam penegakan moral.
Militer dalam konsep politik Yunani kuno ditempatkan dalam ranah oicos yang diasosiasikan sebagai suatu yang 'tidak mulia atau kotor' dan tidak memiliki otoritas apa pun. Sementara senat adalah ruang pertarungan gagasan dan otoritas yang menempati ranah polis. Tugas militer tak lain hanya berperang untuk kejayaan bangsa dan persoalan keputusan politik bukanlah urusan militer, melainkan sepenuhnya di tangan senat. Peran militer dalam politik sangat dipengaruhi oleh konflik kepentingan dan ketegangan kelas yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.
       Militer yang prominence dalam sejarah nation state Indonesia dipandang sebagai suatu bentuk pretorianisme di mana intervensi politik tidak berdiri tanpa dominasi terhadap aset-aset ekonomi. Secara implisit terjadi pengakuan terhadap praktik pretorianisme selama masa pembangunan ekonomi berlangsung dan mengakhiri pertentangan ideologis sejak tahun 1965. Di awal kemunculan Orde Baru, kekuasaan militer tampil dalam ekspresi pretorian populis yang didukung oleh kelompok menengah, gerakan massa, dan aksi-aksi mahasiswa. Karakter pretorian populis segera berubah menjadi oligarkis setelah terjadi konsolidasi kekuasaan yang solid yang didukung penuh oleh perwira-perwira pro- pembangunanisme yang berkiblat ke Barat.5
Amos Perlmutter dalam The Military and Politics and Modern Times memformulasikan dua bentuk kontrol terhadap militer. Subjective Military Control diterapkan oleh negara-negara totalitarian dalam relasi kekuasaan politik (partai) terhadap institusi militer. Kontrol terhadap militer dibangun berdasarkan penempatan komisaris-komisaris politik partai untuk menjalankan civilazation of military. Sementara Objective Military Control hadir sebagai jawaban untuk menarik militer dari kepentingan politik yang populer dengan istilah militerization of military. Pandangan ini berawal dari revolusi industri di Eropa, di mana terjadi perebutan pengaruh terhadap militer oleh kalangan borjuasi terhadap kaum aristokrat (feodal) yang mendominasi alat-alat kekerasan.
         Revolution Military Affair (RMA) berkembang dengan pesat yang menggabungkan elemen ilmu kemiliteran dan kemajuan teknologi dengan seni manajemen yang efektif dan efesien. Sebelum konsep RMA yang mengusung profesionalisme militer, para tokoh filsafat seperti Plato dan Aristoteles sudah meletakkan fondasi militer dalam ranah sosial kemasyarakatan pada zamannya. Militer adalah kekhususan dalam hubungan antarmasyarakat karena secara institusional militer memiliki dominasi atas tindak kekerasaan serta dibebastugaskan dari fungsi sosial seperti kegiatan berproduksi. Bahwa militer harus profesional mengusasai ilmu kemiliterannya merupakan suatu keharusan dan secara aksiologis militer bukanlah pelaku utama kegiatan sosial, politik, apalagi ekonomi, merupakan keniscayaan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai harga mati dan Pancasila sakti yang dipandang sebagai tanggung jawab militer terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia secara politis-ideologis harus mengalami transformasi. Semangat kebangsaan haruslah berdialektika dengan zamannya, bukan lagi klaim dan dominasi sejarah sepihak. (E4)
Catatan kaki:
1. Baca Amy Goodman dalam Perang Demi Uang, 2005
2. Truong Chinh, Selected Writings, Foreign Languages Publishing House, Hanoi, 1977, p. 602
3. Nezar Patria, Nasionalisme Indonesia: Proyek Bersama yang Belum Selesai, 2007.
4. Baca, Robertus Robet dalam Revitalisasi Politik, 2007.
5. Samuel P Hantinton dalam Political Order in Changing Societies memandang intervensi militer dalam politik sebagai tanda terjadinya pembusukan politik itu sendiri. Hantinton berkompromi terhadap intervensi militer dalam periode transisi suatu masyarakat ke arah pelembagaan politik yang stabil.
©2010 VHRmedia.com