Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch
ANDA BUTUH SEPATU STANDAR TNI 150 RIBU/NEGO,BERBAGAI MACAM KAOS/TRAINING SUIT,BERMACAM TAS OUTDOOR MURAH KUAT Call me 0812-9441501/militerinfo@gmail.com
SELAMAT DATANG TEMAN TEMAN DI " INFO MILITER "SILAHKAN ISI BUKU TAMU ,TENG KYU

WELCOME 2 INFO MILITER

SELAMAT DATANG PARA BLOGER ATAWA YANG SEMPET MAMPIR ATO KESASAR,MAKASIH BANYAK ATAS NYA...JANGAN LUPA ISI BUKU TAMU FREN...THK

MENURUT ANDA,TNI (Tamtama & Bintara)SUDAH SEJAHTERA DARI PANDANGAN SEBUAH NEGARA ?

Selasa, 14 Desember 2010

MILITER DALAM SUPRASTRUKTUR IDEOLOGI

militerinfo

Militer Dalam Suprastruktur Ideologi
Willy Aditya
         Negara Kesatuan Republik Indonesia harga mati dan Pancasila sakti. Dua jargon tersebut mempresentasikan struktur dominan relasi ideologis dalam perjalanan kebangsaan Indonesia. Keampuhan jargon tersebut telah mematahkan sekian banyak rencana pemisahan daerah dari kesatuan republik, aksi-aksi massa dengan stempel subversif, sampai pertentangan politik yang membahayakan kekuasaan. Kaum strukturalis meletakkan militer dalam ranah yang disebut sebagai suprastruktur ideologi (bangunan atas struktur masyarakat). Pandang tersebut berangkat dari tinjauan determinisme ekonomi. Sementara basis struktur (infrastruktur: kekuatan produksi, alat produksi, dan hubungan produksi) merupakan fondasi bagi suprastruktur yang terdiri dari dua gugus, yaitu nilai dan pelembagaan dari nilai. Intelektual menjalankan fungsi hegemoni dengan mereproduksi nilai-nilai yang melanggengkan kekuasaan dengan segala mantra ilmu pengetahuan. Sementara militer secara institusional melanjutkan dalam dominasi kehidupan keseharian dan menjaga kekuasaan untuk tetap survive.
Pertanyaan mendasar yang selalu hadir, apakah determinisme ekonomi masih berlaku mutlak dalam realitas kekinian? Determinisme ekonomi dengan kasatmata dapat terpotret dalam gambaran Fredric Jameson tentang globalisasi sebagai "the becoming of cultural of economic and the becoming economic of cultural". Globalisasi atau neoliberalisme digambarkan sebagai paket ideologi yang bermuataan nilai-nilai politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Globalisasi bukanlah makhluk dan organisme baru, melainkan komodifikasi dari ekspansi modal yang utuh, dalam termilogi lampau dimaknai sebagai neokolonialisme dan imperialisme.
          Joseph S Nye Jr juga memaparkan dua jenis kekuasaan dalam globalisasi diimpamakan seperti carrot and stick atau dalam bahasa politiknya hard power dan soft power. "Jika kau nakal dan membangkang, maka akan kugunakan tongkatku untuk memukulmu, tapi jika kau seorang kelinci yang manis dan penurut, maka kugunakan wortel untuk membuatmu tetap berada dalam lingkaran kekuasaanku!"
Begitulah pendekatan kelas dominan dan negara superpower dalam penyelesaian konflik dunia yang terjadi seperti Afghanistan, Irak, dan Darfur. Kelas dominan menegakkan hegemoninya melalui demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara untuk mendaratkan hegemoni menjadi dominasi, kekuasaan melancarkan perang melalui instritusi militer sebagai wujud penguasaan teritori dan perebutan sumber daya alam.
Amy Goodman dalam Perang Demi Uang menggambarkan suprastruktur dalam negara liberal didominasi oleh OLIgarki. Sekelompok orang dari industri minyak yang mengambil alih kepemimpinan politik suatu negara. Lalu mereka membajak militer dan menduduki sebagian besar kawasan penghasil minyak dunia. Mereka memperkaya diri sebanyak-banyaknya dan memastikan keberlanjutan kendali atas minyak dunia. Demi bertahan hidup, biasanya anggota OLIgarki perlu mengakhiri kebebasan sipil, menggambarkan penambahan kekayaan sebagai tugas patriotik, dan mengandalkan kerja sama pers yang bersikap seperti budak.¹
Lebih lanjut Amy Goodman memberikan list para pemeran OLIgarki dalam kekuasaan Amerika Serikat sebagai berikut. George Bush, presiden (pengusaha minyak yang gagal); Dick Cheney, wakil presiden (mantan CEO Halliburton, perusahaan jasa minyak terbesar di dunia); Condoleezza Rice, penasihat keamanan nasional (mantan anggota direksi Chevron selama satu dasawarsa dan ada tanker minyak yang dinamai sesuai namanya); Spencer Abraham, menteri energi (mantan penerima sumbangan kampanye terbesar dari industri otomotif sebagai senator selama satu periode); Don Evans, menteri perdagangan (mantan CEO dan direktur Tom Brown Inc, perusahaan minyak dan gas senilai miliaran dolar); Gale Norton, menteri sumber daya (mantan pengacara untuk Delta Petrolium); dan Andrew Card, kepala staf (mantan kepala pelobi General Motors). Jika kelas dominan menempatkan militer sebagai alat penjaga sekaligus pemukul modal. Posisi ini jauh berbeda dari tradisi revolusioner yang merepresentasikan perlawanan dalam menggulingkan kelas dominan. Praktik ini dilakukan oleh Mao Tse Tung dalam revolusi Tiongkok yang secara tegas mengatakan "kekuasaan senjata harus tunduk di bawah komando partai!".
Dalam rangka revolusi, seseorang mutlak harus memobilisasi massa untuk melakukan perjuangan politik dalam segala bentuk, dengan demikian mendidik, membesarkan hati dan mengorganisir mereka; mengembangkan partai dan organisasi politik massa (untuk membangun 'tentara politis massa'. Hanya pada beberapa hal, saat kondisi bervariasi, seseorang harus membangun kekuatan bersenjata rakyat revolusioner dan memicu sebuah perjuangan bersenjata. Organisasi politis massa membentuk basis kekuatan tentara rakyat.²
          Kedua persektif liberal ataupun revolusioner bersepakat bahwa militer semata-mata hanya alat kekuasaan yang keberadaannya mutlak berada di bawah otoritas yang lebih tinggi, yaitu politik. Pandangan liberalisme meletakkan supremasi sipil di atas militer dalam kerangka pertahanan nasional di mana kedudukan institusi militer merupakan subordinasi dari otoritas pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui kontestasi elektoral (civilian supremacy upon the military). Konsep supremasi sipil atas militer melekat dalam pengertian demokrasi di mana militer sebagai aktor yang memonopoli kekerasan secara formal dan legal.Lima puluh tahun lebih Indonesia merdeka sebagai pencapaian suatu negara dalam mengusir kolonialisme. Sepanjang kurun waktu itulah Indonesia sudah berulang kali berganti sistem kepolitikan dan pemerintahan. Sebagai suatu negara merdeka warisan kolonial Belanda, proyek bersama³ menjadi suatu bangsa selalu pasang-surut. Setelah terinterupsinya program Bung Karno melalui nation and chacter building sampai sekarang Indonesia sebagai nation belumlah klimaks. Sistem kepolitikan Indonesia pada masa setelah kemerdekaan begitu dinamis dan maju dalam pemisahan respulika (polis) dan resprivata (oicos) dalam tatanan bernegara.4 Indonesia sekarang dalam gugus pengetahuan dan ruang praktik kepolitikan sangat kerdil dan cendrung degradatif.
         Militer dalam sejarah kenegaraan Indonesia menjadi prominent hampir setiap agenda-agenda perubahaan politik. Posisi ini tak terlepas dari segi kesejarahan dalam militer Indonesia yang dipandang sebagai warrior (tentara penakluk). Dalam doktrin TNI kemudian dibahasakan sebagai tentara pejuang dan tentara rakyat yang manunggal bersama rakyat. Doktrin sistem pertahanan semesta (total war) dijadikan sebagai legitimasi militer untuk jauh menancapkan kuku tidak hanya dalam ranah politik, tetapi juga dalam sosial dan budaya masyarakat. Intervensi militer dalam politik lebih menonjolkan alasan kesejarahan perjuangan bangsa dan negara yang berpandangan militer di negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia, berbeda dari negara-negara lain.
Setelah gerakan reformasi 1998 menggelora sebagai skema demokratisasi, keberadaan militer sebagai pendukung utama Orde Baru (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) menjadi santer dibahas. Agenda yang sering didengung-dengungkan oleh gerakan prodemokrasi adalah "back to barrac!". Demokrasi dijalankan untuk menghilangkan keterlibatan secara langsung militer dalam panggung politik baik legislatif maupun eksekutif. Selanjutnya menggerus bisnis-bisnis yang dioperasionalkan institusi militer setelah kemerdekaan. Agenda-agenda yang disebut sebagai security sector reform berjalan di bawah negosiasi-negosiasi kepentingan antara kekuasaan lama dan kekuasaan baru. Di sisi lain kalangan civil society sebagai kekuatan presure masih belum efektif dan terdapat kebolongan-kebolongan secara epistemologi dan aksiologi tentang politik dan militer itu sendiri.
         Jauh sebelum demokrasi dipopulerkan di Yunani, politia atau politik sudah meletakkan role of engagement secara tegas tentang otoritas kekuasaan dalam masyarakat. 'Politik' berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai makna berkaitan dengan keteraturan, keindahan, dan kesopanan bagi warga kota. Aristoteles memaknai politik sebagai seni tertinggi untuk mewujudkan kebaikan bersama (common and highest good). Sementara negara ditempatkan sebagai lembaga yang kedudukannya berada di atas rakyatnya. Negara memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi rakyatnya. Aristoteles menempatkan kekuasaan yang besar pada negara merujuk pada individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Lebih lanjut Aritoteles menguraikan bahwa individu memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat dalam penegakan moral.
Militer dalam konsep politik Yunani kuno ditempatkan dalam ranah oicos yang diasosiasikan sebagai suatu yang 'tidak mulia atau kotor' dan tidak memiliki otoritas apa pun. Sementara senat adalah ruang pertarungan gagasan dan otoritas yang menempati ranah polis. Tugas militer tak lain hanya berperang untuk kejayaan bangsa dan persoalan keputusan politik bukanlah urusan militer, melainkan sepenuhnya di tangan senat. Peran militer dalam politik sangat dipengaruhi oleh konflik kepentingan dan ketegangan kelas yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.
       Militer yang prominence dalam sejarah nation state Indonesia dipandang sebagai suatu bentuk pretorianisme di mana intervensi politik tidak berdiri tanpa dominasi terhadap aset-aset ekonomi. Secara implisit terjadi pengakuan terhadap praktik pretorianisme selama masa pembangunan ekonomi berlangsung dan mengakhiri pertentangan ideologis sejak tahun 1965. Di awal kemunculan Orde Baru, kekuasaan militer tampil dalam ekspresi pretorian populis yang didukung oleh kelompok menengah, gerakan massa, dan aksi-aksi mahasiswa. Karakter pretorian populis segera berubah menjadi oligarkis setelah terjadi konsolidasi kekuasaan yang solid yang didukung penuh oleh perwira-perwira pro- pembangunanisme yang berkiblat ke Barat.5
Amos Perlmutter dalam The Military and Politics and Modern Times memformulasikan dua bentuk kontrol terhadap militer. Subjective Military Control diterapkan oleh negara-negara totalitarian dalam relasi kekuasaan politik (partai) terhadap institusi militer. Kontrol terhadap militer dibangun berdasarkan penempatan komisaris-komisaris politik partai untuk menjalankan civilazation of military. Sementara Objective Military Control hadir sebagai jawaban untuk menarik militer dari kepentingan politik yang populer dengan istilah militerization of military. Pandangan ini berawal dari revolusi industri di Eropa, di mana terjadi perebutan pengaruh terhadap militer oleh kalangan borjuasi terhadap kaum aristokrat (feodal) yang mendominasi alat-alat kekerasan.
         Revolution Military Affair (RMA) berkembang dengan pesat yang menggabungkan elemen ilmu kemiliteran dan kemajuan teknologi dengan seni manajemen yang efektif dan efesien. Sebelum konsep RMA yang mengusung profesionalisme militer, para tokoh filsafat seperti Plato dan Aristoteles sudah meletakkan fondasi militer dalam ranah sosial kemasyarakatan pada zamannya. Militer adalah kekhususan dalam hubungan antarmasyarakat karena secara institusional militer memiliki dominasi atas tindak kekerasaan serta dibebastugaskan dari fungsi sosial seperti kegiatan berproduksi. Bahwa militer harus profesional mengusasai ilmu kemiliterannya merupakan suatu keharusan dan secara aksiologis militer bukanlah pelaku utama kegiatan sosial, politik, apalagi ekonomi, merupakan keniscayaan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai harga mati dan Pancasila sakti yang dipandang sebagai tanggung jawab militer terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia secara politis-ideologis harus mengalami transformasi. Semangat kebangsaan haruslah berdialektika dengan zamannya, bukan lagi klaim dan dominasi sejarah sepihak. (E4)
Catatan kaki:
1. Baca Amy Goodman dalam Perang Demi Uang, 2005
2. Truong Chinh, Selected Writings, Foreign Languages Publishing House, Hanoi, 1977, p. 602
3. Nezar Patria, Nasionalisme Indonesia: Proyek Bersama yang Belum Selesai, 2007.
4. Baca, Robertus Robet dalam Revitalisasi Politik, 2007.
5. Samuel P Hantinton dalam Political Order in Changing Societies memandang intervensi militer dalam politik sebagai tanda terjadinya pembusukan politik itu sendiri. Hantinton berkompromi terhadap intervensi militer dalam periode transisi suatu masyarakat ke arah pelembagaan politik yang stabil.
©2010 VHRmedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN PARA PENGUNJUNG ATAO YANG NYASAR,APA KOMENTAR ANDA POSTING DI SINI,MAKASIH.SALAM